Apa yang terjadi jika tak ada iklan di dalam kota (ruang publik kota)? Bisa jadi bersih, kelihatannya. Tapi apakah benar konsep kebersihan dalam kota (clean city) lalu harus memasung keberadaan iklan di sudut2 kota? Kota menjadi kurang gairah? Atau sebaliknya, orang dan warga kota pada umumnya bisa menikmati hakikat asli bentukan kota? Jika terasa ada yang kurang, apakah memang iklan dalam kota (lewat media neonsign, billboard, dll.) sudah masuk kategori “penanda” dalam kota? Observasi maupun hipotesis ini tampaknya mendapat kasus belajar yang pas lewat Kota Sao Paulo yang sejak awal tahun ini melarang semua iklan di dalam kota. Kota terbesar Brazil berpenduduk 11 juta jiwa (18 juta total wilayah aglomerasinya) dan menurut Demographia termasuk 10 kota dunia yang mengalami aglomerasi hebat ini menerapkan kebijakan “kota bersih” dengan mengimplementasikannya pada pembersihan iklan2 di ruang2 publik kota.
Ini berawal ketika membaca tulisan terbaru Pinkmag yang menulis Sao Paulo No Logo. Judul ini diambil dari koleksi foto2 Tony de Marco di Flickr tentang gambaran Sao Paulo setelah kebijakan pelarangan iklan ini dilakukan (diambil sekitar akhir April 2007). Yang terjadi boleh dibilang penghilangan semua jenis penunjuk, penanda berupa iklan dalam ruang2 kota. Dari foto2 itu pada umumnya merekam ditinggalkannya rangka2 billboard itu begitu saja atau penutupan advertisi pada semua bagian kota, termasuk yang tertempel pada diding2 bangunan (toko, hotel, dll.) maupun transportasi umum. Tentu saja banyak yang merasa “terdhalimi” dengan kebijakan yang sedari awal sudah mendatangkan kritik. Kebebasan bereskpresi, hilangnya informasi, sampai gangguan ekonomi diramalkan akan terjadi. Efek samping lain seperti akibat hilangnya fasilitas iklan itu sendiri seperti hilangnya orientasi tempat dan berkurangnya keamanan jalan akan langsung berimbas.
Tampaknya, Pak Gilberto Kassab, sang walikota yang keturunan Italia dan Libanon itu asal muasalnya gregetan juga dengan pelaku bisnis yang sering merusak aturan dalam pemasangan iklan. Beliau mengganggap iklan2 itu sudah masuk kategori “polusi visual”. Seperti yang ditulis oleh International Herald Tribun akhir tahun lalu: “All our efforts to negotiate have had no effect because none of the accords and agreements we reached with the advertising sector were ever complied with. A billboard that was forced to come down would be back up a week later in a different spot. There was a climate of impunity.” Dan balasannya memang terlalu cukup radikal dan “membasmi hangus” :-(. Fasis, begitu menurut para kurban, terutama para pelaku bisnis iklan di sana. Ini mirip model kebijakan intimidatifnya Bush: “kamu bersama aku, atau bersama iklan2 itu” :-). Bayangkan saja foto yang terpampang dalam artikel IHT itu dan kondisi yang digambarkan oleh foto2 jepretan Tony de Marco. Yang jadi “pekerjaan rumah” tentunya bagaimana “menyelaraskan” iklan2 di ruang publik itu sehingga tidak mengganggu, bahkan mendukung penciptaan ruang publik kota yang “sedap” (public space scape). Dan ini juga kasus serius yang tengah terjadi di kota2 Indonesia.
Jika diperlukan, silakan membaca artikel dari Business Week yang bisa dijadikan referensi dan dianggap penting untuk mengarsipkan masalah ini.
M. Sani Roychansyah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar